“Tidak ada suatu amalan yang lebih utama daripada menimba ilmu jika disertai dengan niat yang lurus.” (Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 26)
Jumat, 02 Januari 2015

16.56
Terkisah. . .

Setelah Rasululloh shalallahu 'alaihi wasallam wafat, shohabat Bilal bin Abi Rabah radhiyallahu 'anhu berbulat tekad untuk murobathah fii sabilillah (berjihad di tapal batas daerah kaum muslimin). Itu berarti beliau tak akan mengumandangkan adzan lagi. Hal ini beliau pertegas dengan mengatakan, "Sungguh aku tak akan mengumandangkan adzan untuk seorang pun sepeninggal Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam."

Mengetahui niatan Bilal radhiyallahu 'anhu, kholifah Abu Bakar radhiyallahu 'anhu memanggil dan membujuknya, "Bilal, urungkanlah niatmu dan tetaplah menjadi muadzin kami," rayu Abu Bakar radhiyallahu 'anhu.

"Kholifah, aku sangat menghormatimu karena engkau telah memerdekakanku. Namun, jika engkau memerdekakanku agar aku menjadi milikmu, lakukan apa yang engkau suka. Dan jika engkau memerdekakanku karena Allah, biarkanlah aku pergi," kata Bilal radhiyallahu 'anhu.

Demi mendengarnya, sang kholifah tak sanggup menghalangi niatan Bilal radhiyallahu 'anhu, "Aku memerdekakanmu karena Allah, wahai Bilal."

Bilal radhiyallahu 'anhu pun pergi ke Syam menjadi mujahid dan siap sedia untuk berjihad. Beliau terus berjihad sampai tampuk kekhilafahan berpindah ke pangkuan Umar bin Khottob radhiyallahu 'anhu. Dan selama itu pula Bilal radhiyallahu 'anhu tak pernah mengumandangkan adzan.

Hingga pada suatu hari, Umar mengunjungi Syam. Selayaknya seorang pemimpin, banyak laporan, masukan juga permintaan kepada beliau. Salah satunya, agar beliau mau membujuk Bilal radhiyallahu 'anhu mengumandangkan adzan.

Karena Umar radhiyallahu 'anhu juga teramat rindu, beliau segera memanggil Bilal dan membujuknya. Di awal, Bilal berusaha menolak. Namun karena Umar terus mendesak dan memaksa, akhirnya Bilal takluk juga.

Saat waktu sholat tiba, Bilal radhiyallahu 'anhu naik dan mengumandangkan adzan. Begitu lantunan adzan menggema, bayang-bayang Rasululloh shalallahu 'alaihi wasallam seolah hadir di tengah-tengah para shohabat. Kenangan-kenangan masa lalu mengantarkan mereka ke ruang rindu. Rindu akan sosok yang teramat spesial. Tak terasa air mata pun menetes dari pelupuk mata. Menetes dan terus menetes hingga orang yang tak pernah bertemu Rasululloh shalallahu 'alaihi wasallam pun terbawa ke ruang rindu dan ikut menangis. Mereka menangis seakan-akan mereka tidak pernah menangis sebelumnya, selamanya. (Siyar A'laamin Nubalaa')

Akhi, bagaimana dengan antum? Tidakkah antum ingin masuk ke ruang rindu? Rindu akan sosok yang teramat spesial? Rindu akan sosok yang sangat merindukanmu hingga beliau harus berjuang mengendapkannya?

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan sebuah hadits dari shohabat Abu Huroiroh radhiyallahu 'anhu. Saat itu beliau mendatangi sebuah kuburan. Beliau berdoa, "ASSALAMUALAIKUM DAARA QOUMIN MU'MININ. WA INNA INSYA ALLAH BIKUM LAAHIQUN (Kesejahteraan atas kalian, penghuni kampung kaum mu'minin. Dan insya Allah kami akan segera menyusul kalian.)"

Kemudian Rasul shalallahu 'alaihi wasallam mengungkapkan rasa, "Sungguh aku sangat rindu bertemu ikhwan-ikhwanku."

Para sahabat bertanya, "Bukankah kami ikhwan-ikhwanmu, duhai Rasululloh."

"Bukan. Kalian adalah para sahabatku. Ikhwan-ikhwanku adalah umatku yang datang setelah kita," jelas Rasululloh shalallahu 'alaihi wasallam.

"Lalu, bagaimana cara engkau mengetahui umatmu yang datang setelahmu, ya Rasululloh?" tanya sahabat lagi.

"Bagaimana menurut kalian jika seseorang memiliki kuda ghurrah (berwarna putih keningnya), muhajjalah (berwarna putih keempat kakinya) berada dalam kerumunan kuda yang berwarna hitam legam, bukankah dia akan tahu kuda miliknya"

"Tentu, wahai Rasululloh."

"Begitulah aku mengetahui ikhwan-ikhwanku. Mereka akan datang di hari kiamat, wajah, kedua tangan dan kedua kaki mereka memancarkan cahaya karena wudhu'. Dan aku setia menunggu mereka di telagaku."

Begitulah, akhi. Beliau sangat merindukan kita. Tidakkah kita merindukan beliau? Bagaimana dengan wudhu kita? Bagaimana dengan sholat kita?

Tidakkah engkau merenungi awal mula diwajibkannya sholat. Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu -sebagaimana dalam Shohehain- menceritakannya kepada kita. Ringkas kata, beliau di-isro'-kan oleh Allah dari Masjidil haram menuju Masjidil aqsha. Dari Masjidil Aqsha beliau di-mi'roj-kan hingga ke sidrotul muntaha, terletak di langit ketujuh. Selama perjalanan beliau berjumpa dengan bapak dan saudara-saudara beliau dari kalangan para Nabi. Sungguh momen yang mengharukan. Sesampainya di sidrotul muntaha, Allah mewajibkan kepada beliau dan umatnya 50 sholat dalam sehari semalam.

Setelah mendapatkan titah, beliau hendak turun ke bumi. Ketika melewati langit keenam, buru-buru Nabi Musa bertanya, "Saudaraku, apa yang diwajibkan Rabb-mu atas umatmu?"

"50 sholat dalam sehari semalam," jawab Rasululloh shalallahu alaihi wasallam.

"Kembalilah menemui Rabb-mu dan mintalah keringanan. Umatmu tak akan sanggup menjalankannya. Aku telah berpengalaman mengurusi bani isroil."

Seketika Rasululloh shalallahu 'alaihi wasallam teringat kaumnya. Rasululloh merasa kasihan terhadap kaumnya. Beliau tak tega melihat kaumnya tak sanggup menunaikan kewajiban lalu mendapat adzab. Akhirnya beliau segera kembali menuju Rabb-nya, meminta keringanan.

Bayangkan, akhi, jika engkau harus meminta dispensasi untuk saudara antum kepada atasan atau yang semisal. Ada rasa malu, sungkan, takut yang harus antum endapkan, bukan? Lalu, bagaimana jadinya jika antum meminta kepada Sang Penguasa alam semesta. Dzat yang benar-benar mampu memegang tangan kanan antum, lalu memotong urat nadi jantung antum.

Namun beliau shalallahu 'alaihi wasallam endapkan semua rasa itu dan memberanikan diri menghadap Rabbul 'Alamin. Lebih daripada itu, beliau lakukan sebanyak sembilan kali. Duh.. betapa banyak dari kita yang tak menyadarinya. Betapa banyak pula dari kita yang tak mensyukurinya.

Ya Allah, sampaikanlah permintaan maaf kami kepada Rasululloh shalallahu 'alaihi wasallam...

Semuanya demi kita, akhi. Semuanya demi umatnya. Sungguh benar apa yang Allah firmankan, "telah datang Rasul dari jenis kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan keimanan dan keselamatan untuk kalian, amat belas kasihan dan penyayang terhadap kaum mukminin."

Memang beliau pantas disifati dengan yang demikian. Shohabat Abdulloh bin Amer bin Al Ash radhiyallahu 'anhu  mengkisahkan -sebagaimana dalam shoheh muslim-,

Suatu hari, Nabi shalallahu 'alaihi wasallam membaca firman Allah ta'ala tentang doa Nabi Ibrohim 'alaihissalam, "Rabb-ku, sungguh berhala-berhala itu telah menyesatkan banyak orang. Barangsiapa diantara mereka yang mengikutiku, maka dia termasuk golonganku. Dan barangsiapa yang mendurhakaiku, maka sungguh Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Beliau juga teringat firman Allah tentang doa Nabi Isa 'alaihissalam, "Jika Engkau mengadzab mereka, maka mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, memang Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

Beliau pun teringat umatnya. Berat dirasa olehnya penderitaan umatnya, sangat menginginkan keimanan dan keselamatan untuk umatnya, amat belas kasihan lagi penyayang kepada umatnya. Tak terasa beliau meneteskan air mata seraya menengadahkan kedua tangan ke langit, "ya Allah, umatku.. umatku.. "

Beliau shalallahu 'alaihi wasallam menangis, akhi. Beliau menangis demi umatnya, demi kita. Tidakkah kita rindu kepada beliau?

Bukankah dahulu kita tersesat, lalu Allah beri hidayah dengan sebab sunnah Rasul shalallahu 'alaihi wasallam? Bukankah kita dahulu selalu merasa miskin, kemudian Allah berikan sifat qona'ah dengan kedatangan sunnah Rasul shalallahu 'alaihi wasallam? Bukankah kita dahulu bermusuhan lalu Allah rajut tali ukhuwah dengan kehadiran sunnah Rasul shalallahu 'alaihi wasallam?

Tidakkah kita ridho semua orang pulang membawa dunia, dan kita pulang membawa Rasululloh shalallahu 'alaihi wasallam? Wallahi.. kita lebih ridho sunnah Rasul shalallahu 'alaihi wasallam ketimbang dunia dan seisinya.

Al Imam At Tirmidzi rahimahullah berkata mengenai kitabnya "Sunan Tirmidzi", "Barangsiapa yang memiliki kitab ini dirumahnya, seakan-akan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam berbicara di rumahnya." (Tadzkirotul Huffadh)

Bagaimana dengan kita?? Sudahkah memiliki shoheh bukhori, shoheh muslim ataupun kitab induk hadits lainnya? Atau minimalnya, sudahkah kita menghapal Arba'in Nawawi ??

Semoga di ruang rindu kita bertemu Rasululloh shalallahu 'alaihi wasallam, sebelum nantinya kita bertemu di telaganya dan menjadi tetangga beliau di Firdaus Al A'la. Amin.

Wallahu a'lam.

15.11_Maktabah_Daarul_Haadits_bil_Fuyush_Yahya_Al_Windany_(Salah satu thulab di Darul Hadits Fuyus, Yaman)

Disalin dari : Whatsapp Ukhuwah Ikhwah Mahad Daarussalaf 9 Februari 2014, 17.41 PM
Judul Asli : Di Ruang Rindu...

0 komentar:

Posting Komentar