Untuk itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata kepada Asyajj ‘Abdul Qais:
ﷲﺍﺎﻤﻬﺒﳛﲔﻘﻠﳋﻚﻴﻓﻥﺇ : ﺓﺎﻧﻷﺍﻭﻢﻠﳊﺍ
“Sesungguhnya dalam dirimu ada dua sifat yang Allah sukai; sifat santun dan tidak tergesa-gesa”
Ia berkata:
ﷲﺍﻝﻮﺳﺭ ﺎﻳ ,ﺃ ﺎﻤﺖﻘﻠﲣﻥﺎﻘﻠﺧﺎﳘ , ﺎﻤﻬﻴﻠﻋﷲﺍﲏﻠﺒﺟ ﻡﺃ
”Wahai Rasulullah, Apakah kedua akhlaq tersebut merupakan hasil usahaku, atau Allah-kah yang telah menetapkan keduanya padaku?”
Beliau menjawab:
ﺎﻤﻬﻴﻠﻋﷲﺍﻚﻠﺒﺟﻞﺑ
“Allah-lah yang telah mengaruniakan keduanya padamu”. Kemudian ia berkata:
ﻪﻟﻮﺳﺭﻭﺎﻤﻬﺒﳛﲔﻘﻠﺧﻰﻠﻋﲏﻠﺒﺟﻱﺬﻟﺍﷲﺪﻤﳊﺍ
”Segala puji bagi Allah yang telah memberiku dua akhlaq yang dicintai oleh-Nya dan oleh Rasul-Nya”. [1]
Maka, hal ini menunjukan bahwa akhlaq terpuji dan mulia bisa berupa perilaku alami (yakni karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya-pent) dan juga dapat berupa sifat yang dapat diusahakan atau diupayakan. Akan tetapi, tidak diragukan lagi bahwa sifat yang alami tentu lebih baik dari sifat yang diusahakan. Karena akhlaq yang baik jika bersifat alami akan menjadi perangai dan kebiasaan bagi seseorang. Ia tidak membutuhkan sikap berlebih-lebihan dalam membiasakannya. Juga tidak membutuhkan tenaga dan kesulitan dalam menghadirkannya. Akan tetapi, ini adalah karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Ia diberikan kepada seorang hamba yang dikehendaki oleh-Nya, barang siapa yang terhalang dari hal ini – yakni terhalang dari akhlaq tersebut secara tabiat alami –, maka sangat mungkin baginya untuk memperolehnya dengan jalan berusaha dan berupaya untuk membiasakannya. Yaitu dengan cara membiasakan dan melakukannya terus-menerus, sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti Insya Allah.
Dinukil dari Kitab Makarimul Akhlaq karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah
----------
Footnote :
[1] Dikeluarkan oleh Abu Daud, No. 5225 di Kitaabul Adab, dan Ahmad, 4/206. Imam Muslim hanya mengeluarkan bagian yang pertama saja, No. 25 dan 26 di Kitaabul Iimaan, juga oleh Imam Tirmidzi, No. 2011 di Kitaabul Bir Wash Shilah
0 komentar:
Posting Komentar