Ada Apa dengan Bulan Muharram?
Bulan Muharram adalah salah satu dari
empat bulan haram dalam Islam, bulan ini berada pada urutan pertama
penanggalan hijriyah sejak diresmikan oleh Khalifah Umar bin Khaththab,
bahwa bulan pertama pada kalender hijriyah adalah bulan muharram.
Keutamaan Bulan Muharram
Muharram termasuk salah satu dari empat
bulan haram (bulan-bulan yang memiliki kehormatan lebih dibandingkan
bulan-bulan yang lainnya) dalam Islam yang termaktub dalam Al-Qur’an
(yang artinya),
“Sesungguhnya bilangan bulan di
sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.” (QS. At-Taubah: 36)
Keempat bulan itu adalah: Muharram,
Rajab, Dzulqo’dah, dan Dzulhijjah, sebagaimana yang dideklarasikan oleh
Rasulullah pada saat haji perpisahan. Disebut bulan haram karena ia mengandung
kemuliaan lebih (dari bulan-bulan lainnya) dan karena pada bulan-bulan
ini diharamkan untuk berperang. (Tafsir As-Sa’di, hlm.192)
Cukuplah menunjukkan kemuliaan bulan Muharram ini ketika Rasulullah menjulukinya sebagai bulan Allah , beliau bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُاللَّهِ الْمُحَرَّمُ
“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah berpuasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim, no.1982 dari shahabat Abu Hurairah t)
Kata para ulama’, segala sesuatu yang
disandarkan kepada Allah itu memiliki kemuliaan lebih dari yang tidak
disandarkan kepada-Nya, seperti baitullah (rumah Allah), Rasulullah
(utusan Allah), dan lain-lain.
Dalam Islam, bulan Muharram memiliki
nilai historis (sejarah) yang luar biasa; pada bulan ini, tepatnya pada
tanggal sepuluh, Allah menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya dari kejaran
Fir’aun dan bala tentaranya serta menenggelamkan mereka di laut merah.
Di bulan ini juga Rasulullah bertekad
kuat untuk berhijrah ke negeri Madinah, setelah mendengar bahwa
penduduknya siap berjanji setia membela dakwah beliau. Walaupun tekad
kuat beliau ini baru bisa terealisasi pada bulan Shafar.
Selain itu, di bulan ini terdapat ibadah
puasa yang dikatakan oleh Rasulullah sebagai puasa terbaik setelah
Ramadhan sebagaimana hadits di atas.
Beliau juga bersabda ketika ditanya tentang keutamaannya: “Menghapuskan dosa-dosa tahun yang lalu.” (HR. Muslim, no.1977 dari shahabat Abu Qotadah Al-Anshari )
Berkaitan dengan puasa ‘Asyuro’, untuk lebih lengkapnya bisa dibaca kembali pada edisi sebelumnya.(Edisi No:02/I/VIII/1431)
Bulan Muharram Bukan Bulan Sial
Sebagian orang menyakini bulan Muharram
sebagai bulan keramat yang tidak boleh dibuat pesta dan
bersenang-senang, sehingga banyak aktivitas tertentu yang ditunda atau
bahkan dibatalkan. Lebih dari itu, mereka meyakini siapa yang mengadakan
hajatan pada bulan ini akan ditimpa musibah dan malapetaka. Sebagai
contoh adalah pernikahan, mereka enggan menikahkan putra putrinya di
bulan ini karena khawatir ditimpa petaka dan kesengsaraan bagi kedua
mempelai.
Ketika ditanya mengenai alasan mereka
menilai bulan Muharram sebagai bulan keramat nan penuh pantangan, tidak
ada jawaban berarti dari mereka selain, ’Beginilah tradisi kami’ atau
’Beginilah yang diajarkan bapak-bapak kami’.
Para pembaca rahimakumullah,
sikap mengikuti tradisi atau leluhur tanpa bimbingan Islam adalah
terlarang, bahkan sikap seperti ini termasuk sifat orang-orang jahiliyah
dan penyembah berhala dimasa Rasulullah dan nabi-nabi sebelumnya. Allah
menyebutkan di dalam Al-Qur’an tentang jawaban orang-orang Quraisy
ketika diajak oleh Rasulullah untuk meninggalkan kesyirikan, kata mereka
(yang artinya),
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak
(nenek moyang) kami menganut suatu agama (bukan agama yang engkau bawa
–pent), dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan
(mengikuti) jejak mereka.” (QS. Az-Zukhruf: 22)
Demikian pula Fir’aun, ketika diajak oleh Nabi Musa agar beriman kepada Allah , ia malah berkata (yang artinya,
“Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya.” (QS. Yunus: 78)
Kemudian, anggapan sial untuk melakukan
aktivitas tertentu, seperti hajatan dan semisalnya di bulan Muharram
yang diyakini oleh keumuman masyarakat Jawa, dalam ajaran Islam disebut
Tathoyyur atau Thiyaroh, yaitu meyakini suatu keburuntungan atau
kesialan didasarkan pada kejadian, tempat, atau waktu tertentu.
Anggapan seperti ini sebenarnya sudah
ada sejak zaman jahiliyah. Setelah Islam datang, maka ia dikategorikan
kedalam perbuatan syirik yang harus ditinggalkan. Allah berfirman
(Artinya): ”Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 131)
Dalil yang menunjukkan bahwa Tathoyyur atau Thiyaroh termasuk kesyirikan adalah sabda Rasulullah ,
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ثَلاثًا
“Thiyaroh adalah kesyirikan”, beliau mengulangnya sebanyak tiga kali.” (HR. Ahmad dan Abu Daud, dari shahabat Abdullah bin Mas’ud )
Apabila kita telah mengetahui bahwa
anggapan sial atau keberuntungan seperti itu termasuk kesyirikan, maka
kewajiban kita selanjutnya adalah menjauhinya dan menjauhkannya dari
anak dan istri kita dari keyakinan tersebut. Sehingga kita beserta
keluarga kita tidak terjerembab kedalam kubangan dosa besar yang paling
besar, yaitu dosa syirik.
Hati-hati dengan Syi’ah
Orang-orang syi’ah menjadikan bulan
Muharram sebagai hari-hari berkabung. Pada setiap tanggal 10 Muharram,
orang-orang syi’ah di Iran mengadakan pawai akbar untuk memperingati
hari terbunuhnya cucu Rasulullah , Husein bin Ali di padang Karbala.
Acara rutin mereka tersebut dimulai
sejak tanggal 1 sampai tanggal 10 Muharram. Pada tanggal 1 Muharram
sampai tanggal 9 Muharram mereka mengadakan pawai besar-besaran di
jalan-jalan menuju Al-Huseiniyah. Al-Huseiniyah adalah tempat ibadah
syi’ah, akan tetapi biasanya Al-Huseiniyyah digunakan untuk makam Imam,
bukan untuk melaksanakan shalat. Sedangkan shalat dilakukan di luar
bangunan. Penamaan ini diambil dari nama Husein bin Ali.
Peserta pawai hanya mengenakan celana
atau sarung saja sedangkan badannya terbuka. Selama pawai, mereka
memukul-mukul dada dan punggungnya dengan rantai besi sehingga
meninggalkan bekas (luka memar) yang mencolok.
Kemudian, pada acara puncak, mereka
mengenakan kain berwarna putih dan ikat kepala berwarna putih pula.
Setelah itu, mereka menghantamkan pedang, pisau, atau benda tajam
lainnya ke kepala dan dahi mereka sehingga darah pun bercucuran. Darah
yang mengalir ke kain putih membuat suasana semakin mencekam, bahkan tak
sedikit di antara mereka yang menangis histeris.
Demikianlah gambaran ringkas tentang
berkabungnya orang-orang syi’ah di Iran pada bulan Muharram. Seperti
yang telah kami sebutkan, tujuan utama mereka adalah untuk mengenang
terbunuhnya Husein bin Ali.
Para pembaca rahimakumullah,
sebagai seorang muslim tentu kita juga sangat bersedih dengan peristiwa
tragis nan menyayat hati yang menimpa cucu Rasulullah itu. Namun, Islam
melarang pemeluknya yang tertimpa musibah untuk berucap atau berbuat
sesuatu yang menunjukkan ketidak-ridhaan kepada keputusan Allah,
seperti, merobek baju, menampar pipi, menjambak rambut, menangis
histeris, apalagi menyayat kepala dan dahi seperti yang dilakukan
sebagian orang-orang syi’ah.
Rasulullah bersabda:
”Bukan dari golongan kami barang siapa yang menampar pipi, merobek baju, atau meratap dengan ratapan jahiliyah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abdullah bin Mas’ud )
Lebih dari itu, bagi wanita yang
meratapi mayit dan meninggal dalam keadaan belum bertaubat, maka ia akan
dibangkitkan pada hari kiamat dengan pakaian dari tembaga yang meleleh,
sebagaimana dijelaskan Rasulullah dalam haditsnya yang diriwayatkan Al-Imam Muslim dari Abu Malik Al-Asy’ari.
Maka sekarang kita telah mengetahui
bahwa apa yang dilakukan orang-orang syi’ah tersebut bukan hanya tidak
ada dasarnya dalam Islam, bahkan ia bertolak belakang dengan ajaran
Islam.
Para pembaca rahimakumullah,
peringatan 10 Muharram oleh orang-orang syi’ah, untuk mengenang
terbunuhnya shahabat Husein tidak hanya diadakan di Iran saja, tetapi
juga di negara-negara lainnya, seperti India, Pakistan, Lebanon, dan
juga Indonesia, hanya saja tata caranya berbeda.
Di Indonesia, misalnya, sudah menjadi
acara rutin tahunan bagi syi’ah mengadakan acara ini yang mereka
istilahkan dengan haul arba’in-an, yaitu mengenang 40 hari syahidnya
shahabat Husein.
Para pembaca rahimakumullah,
maka jangan tertipu dengan perbuatan-perbuatan orang-orang syi’ah
seperti contoh di atas. Karena tujuan mereka melakukan hal itu untuk
menarik dan memikat hati kaum muslimin agar tertarik dan membela mereka.
Demikian pula perbuatan mereka itu sama sekali bukan bagian dari Islam.
Penutup
Para pembaca rahimakumullah, itulah beberapa fenomena yang terjadi di tengah-tengah umat seputar perbedaan menyikapi bulan Muharram.
Sebagai seorang muslim seharusnya kita
bisa membedakan antara syari’at dan adat. Syari’at harus dikedepankan,
walaupun menyelisihi adat. Sebaliknya, adat harus ditinggalkan ketika
menyelisihi syari’at, demikianlah Islam. Karena dengan sikap inilah
Islam akan jaya. Adapun jika umat masih mengedepankan adat dan tradisi,
walaupun bertentangan dengan syari’at, maka pada saat itulah mereka akan
ditimpa kehinaan dan kerendahan, inilah makna hadits Rasulullah,
وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُعَلى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي
“Dan dijadikan kerendahan dan kehinaan bagi siapa saja yang menentang syari’atku.”
(HR. Al-Bukhari, dari shahabat Abdullah bin ’Umar y)
Semoga tulisan ringkas ini bisa
memberikan tambahan ilmu bagi saudara-saudaraku seiman dan semoga Allah
selalu mencurahkan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin ya Rabbal
’alamin…
0 komentar:
Posting Komentar